Sabtu, 05 Mei 2012

Sebelum 2012 (Part 1)

(CERPIS (CERITA PENDEK ISLAMI)) by Islam Berjaya on 05-05-2012
Penulis: Ummu Zainab

25 Desember 2009
Sore ini–mungkin–merupakan kiamat bagi keluarga Milah.
Hujan lebat mengguyur, ditingkahi cahaya kilat yang menerangi langit hitam pekat. Pohon-pohon di depan rumah Milah tampak tidak kuat menahan terpaan angin, seluruh daunnya, rantingnya, bergoyang keras.
”Buu, atap rumah terbaaang!” Asri, adik Milah yang tengah duduk di bangku SMA, berteriak panik sambil menunjuk ke arah langit-langit dapur mereka yang telah lenyap sebagian.
“Astaghfirullah,” Milah dan ibunya hanya bisa diam mematung sambil tak putus-putusnya bibir mereka beristighfar, butir hujan yang besar-besar segera berjatuhan, berserak membasahi lantai semen dapur itu, tanpa penghalang lagi. Sementara angin di luar sana tidak jua berhenti berputar, menghajar semua benda yang ditabraknya, suara hembusannya mencekam suasana, lama-lama terdengar semakin menderu, berputar cepat layaknya gasing.
“Kraak…”
Satu, dua, tiga buah pohon tumbang seketika, tak mampu terus bertahan menghadapi putaran angin yang menggila.

“Allaaahuakbar!” Milah histeris, langsung berlari menuju ruang tamu, ke depan jendela, kemudian dengan serta-merta menyibak tirainya. Ia saksikan motornya yang diparkir di depan rumah tertimpa pohon besar, untung masih tertahan oleh pagar, hanya ranting dan daun-daunannya yang menutupi sebagian besar badan motor itu.
“Kak, motornya!”, semua hanya bisa melihat dari balik tirai jendela itu, sedih, tak berdaya, dan dicekam ketakutan.
“Tiang listrik! Tiang listrik!,” tiba-tiba Milah menunjuk-nunjuk kaca jendela. Tampak tiang listrik di samping kanan rumah mereka memercikkan api, kabelnya turun, mengendor. Semua menahan nafas, takut akan terjadi kebakaran.
“Ya Allah, selamatkan kami! Selamatkan kami!” Asri mulai terisak, menangis deras, ketakutan teramat sangat seolah mencekik lehernya hingga ia setengah mati menahan sesenggukannya.
“Matikan listrik semua! Padamkan! Kita harus mengungsi ke tempat yang tidak ada pohon ataupun tiang listrik, ke daerah rumah-rumah di belakang,” suara Milah melengking, menyulut kepanikan, ia memberi intruksi pada Asri dan Bowo, adiknya yang masih 6 SD. Semua mengangguk patuh. Sambil melaksanakan perintah Milah, kerutan di kening mereka tidak juga beranjak.
“Loh! Ibu? Ibu sedang apa?” Milah melihat ibunya memasukkan baju-baju ke ember besar, buku-buku pelajaran Asri, Bowo dan Milah pun dimasukkannya.
“Ibu, gak usah pedulikan itu! Kita harus keluar, ini bahaya Bu! Kita harus segera menjauh dari rumah, sebelum pohon-pohon semua tumbang dan menimpa kabel tiang listrik di depan.”
“Tapi kalau terjadi kebakaran bagaimana? Ibu mau selamatkan ini, barang-barang kalian, kalau tidak… Ibu tidak mampu lagi membelikan yang baru,” air mata bercucuran dari mata wanita itu.
Milah menggeleng geram, kemudian bergegas menghampiri ibunya dan melempar jauh ember itu sekuat tenaga.
“Sudah Bu! Yang penting kita semua selamat! Ayo Bu!”
“Ibu tidak akan pergi tanpa bawa barang-barang ini,” suara sang Ibu terdengar menyentak, bersitegang.
“Loh, nyawa ibu lebih penting daripada buku pelajaran kami, pokoknya ibu harus ikut keluar sekarang juga!”
“Tidaak!”
Milah bersikeras menarik ibunya untuk ikut keluar, tapi sang ibu malah ngotot membereskan barang-barang lainnya yang belum dimasukkannya ke dalam ember. Lima menit mereka berada dalam pertikaian. Sampai akhirnya…
“Kaaaak, aneh Kaaak! Hujan es! Hujan eeess!,” Bowo berteriak panik, berdiri di depan pintu menyaksikan butir-butir es sebesar kelereng jatuh dari langit. Suara gaduh terdengar di atas atap rumah mereka, seperti suara kerikil yang sengaja dilemparkan ke atap secara terus-menerus tak terputus.
“Subhanallah.”
Angin sudah tidak lagi berputar, kini giliran butiran es yang meluncur jatuh dari langit membuat mereka terpana. Tak-tok-trok-toktoktok.
* * *
Badai telah berlalu. Hanya dalam hitungan menit, namun berhasil memporak-porandakan satu kota: Pepohonan banyak yang tumbang, entah itu pohon pisang, pohon besar, maupun pohon-pohon kecil yang dijual dalam pot di pinggir jalan, berserak-serakan diterjang angin, bahkan tiang listrik pun ada yang tumbang juga, papan-papan iklan di jalan terkoyak-koyak, atap-atap rumah banyak yang berterbangan, termasuklah atap rumah Milah.
Milah menatap motornya. Beberapa menit lalu para warga membantu ia dan ibunya untuk mengangkat pohon yang roboh menimpa pagar rumah plus motornya itu, juga membersihkan daun-daun dan ranting yang berhamburan menutupi jalan. Motor Milah agak penyok, mesinnya dingin, susah sekali dihidupkan meski sudah berkali-kali distarter.
Kini yang tersisa hanya kebingungan, bagaimana cara ia pergi ke kampus besok. Sementara untuk ongkos, ia harus keluar mahal, jalan kaki tidak mungkin. Milah menggigit bibirnya, pandangan matanya masih kosong menatap motor di hadapannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar