Sabtu, 05 Mei 2012

Sebelum 2012 (Part 2)

(CERPIS (CERITA PENDEK ISLAMI)) by Islam Berjaya on 06-05-2012
Penulis: Adeliany Azfar

Millah mengusap peluhnya yang mulai mengaliri pelipis . Ia tau betul kalau jarak dari rumah ke kampus sangatlah jauh. Tapi ia lebih tau tentang keyakinan hatinya dan percaya bahwa ia akan sampai di kampus tepat waktu. Pagi-pagi sekali Millah berangkat. Kebetulan, ia melarang Asri dan Bowo, kedua adiknya untuk masuk sekolah hari ini. Karena biasanya, memang Millah yang mengantarkan kedua anak itu. Tapi semua tau, betapa dashyatnya bencana kemarin sore, hingga motor kesayangan Millah tercatat sebagai korban. Bukan hanya itu, tapi banyak jiwa yang terguncang karena peristiwa alam tersebut, dan juga jalanan yang sekarang tengah ia lewati tak kalah berantakannya. Pohon-pohon tumbang, atap rumah roboh dan masih banyak lagi.
Tepat pukul sembilan, Millah memasuki gerbang kampus. Ia mengucap syukur berulang kali. Allah memang Adil. Buktinya sekarang Millah bisa dengan mudah sampai di kampus yang berjarak 14 km dari rumah. Namun, kampus tak seperti biasanya hari ini. Semua mahasiswa duduk bergerombol di pepohonan yang ditanam di halaman kampus. Mereka tampak takut dan gelisah. Entah apa yang tengah mereka perbincangkan, hingga Millah bisa melihat dengan jelas salah satu dari mereka bahkan lebih, tengah berurai air mata. Cepat, gadis berjilbab itu menghampiri teman-temannya yang asyik bercerita.
“Assalamualaikum….!” sapanya lembut. Semua menoleh kaget dan kemudian tersenyum.
“Waalaikumsalam, Mil…!” balas mereka cepat.

“Eh, lu tau nggak, Mil, kiamat udah dekat!” ucap Ayu, salah seorang teman seraya menarik lengan Millah untuk duduk mendekat. Ditarik begitu, Millah jadi hilang keseimbangannya.
“Aduh…lu gimana sih, Yu, baju ku jadi kotor nih!” protes Millah sebal.
“Maaf deh, Mil! Tapi ini beneran loh!” ucapnya lagi. Millah hanya angguk-angguk mendengar berita yang baru saja ia dengar. Melihat ekspresi Millah yang datar-datar aja, Ayu semakin terpancing untuk bercerita lebih jauh.
“Menurut ramalan Suku Mayat, besok alam semesta akan kimat! Dan yang lebih mengejutkan adalah perkiraan cuaca dari badan Iklimanataulagi. Menurut mereka, suhu di muka bumi saat ini tak bisa ditebak. Paginya cerah, siangnya mendung dan sorenya turun hujan. Parahnya, malam ini diramalkan akan terjadi hujan es yang lebih besar dari kemarin”. Terangnya berapi-api. Namun Millah masih tetap tenang tanpa sedikit pun terpengaruh pada apa yang disampaikan Ayu.
“Hmmm…emang kiamatnya jam berapa, Yu?” tanyanya santai. Ayu tersentak mendengar pertanyaan itu.
“Jam 20.12, Mil!” jawab Ayu semangat.
“Oh…berarti kita masih punya waktu kurang lebih 35 jam untuk memperbaiki akhlak!” Ayu tak lagi bisa menyampaikan rasa keterkejutannya atas apa yang disampaikan Millah. Karena sedetik setelah itu, tempat yang tengah mereka duduki seketika bergetar hebat.
“Gempa…..!” teriak mereka secara bersamaan dan tetap diam dalam posisi masing-masing. Beruntung, saat ini mereka sedang tidak di dalam gedung. Guncangan yang mungkin sekitar 8 SR itu, telah menghancurkan sebagian gedung kampus dan itu disaksikan oleh semua mahasiswa yang berdiri di halaman.
Cewek-cewek tersedu-sedan menyaksikan amukan alam yang memang luar biasa menakutkan. Begitu juga dengan Ayu yang sedari tadi memeluk lengan Millah dengan erat, sedangkan Millah lebih memilih untuk beristigfar. Dua menit kemudian, getaran yang tadinya begitu hebat sekarang mulai mereda.
“Alhamdulillah,” Millah berucap pelan. Namun, semua tak berakhir begitu saja. Seketika langit mendung, dan angin puting beliung mulai menyapu seluruh benda yang ada. Semua panik dan berlari mencari perlindungan. Tiga buah tenda yang dipasang di depan gerbang kampus terbang berantakan. Begitu juga dengan benda-benda lainnya. Beberapa mahasiswa ada yang terseret sejauh lima meter karena tak kuat mempertahankan diri dari angin yang mungkin bisa sebut badai kecil itu.
Millah mengangkat tangan kanan, dan memperhatikan arlojinya. jam menunjukkan pukul sepuluh tepat, perasaannya kacau balau.
“Ya Allah…bagaimana keadaan ibu dan kedua adikku?” ia mulai menitikkan air mata, nyaris putus asa. Di depannya, bencana begitu jelas terlihat. Tak ada lagi persembunyian. Gedung-gedung telah hancur. Bahkan sekarang, ia hanya berdiri kaku seraya menggenggam batang pohon pinus tempat yang tadi tengah ia dan teman-temannya tempati. Millah hanya sendirian di tempat itu. Kawan-kawannya sudah berhamburan entah ke mana.
Millah melepaskan pegangan dari pohon pinus dan berlari ke depan. Pemandangan yang sama sekali tak ingin ia lihat. Mobil-mobil di jalanan saling hantam, pengendara motor banyak yang jatuh dan juga toko-toko di sepanjang jalan hancur lebur nyaris sama dengan tanah.
Millah mempercepat langkahnya. Dalam keadaan begini, jarak dari kampus ke rumah terasa semakin jauh. Baru dua jam kemudian, ia sampai di rumah. Peluh dan keringat yang bercucuran tak dihiraukannya sama sekali. Sampai di depan rumah, air matanya kembali menetes. Bahkan kini, Millah tersedu-sedu dan hampir meraung. Rumahnya tak layak huni. Semua hancur. Motor yang tadinya hanya lecet sekarang tak lagi bisa diduduki karena memang sudah tak berbentuk. Segera Millah menerobos reruntuhan rumah namun ia tak juga menemukan Ibu, Asri dan Bowo.
“Ya Allah…ke mana mereka?” teriaknya panik. Tapi memang tak berguna menelusuri tempat itu, karena tak mungkin ada tempat bagi manusia untuk berlindung. Milla berlari ke luar namun ia tak menemukan seoranng pun di tempat itu. Rumahnya kosong begitu juga dengan rumah-rumah tetangga. Millah sendirian di kampungnya. Sesaat setelah itu, butiran-butiran es jatuh dan keras menghantam ubun-ubunnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar